Kamis, 20 Juni 2013

Jalan Setapak itu

Saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar,yang konon katanya masa kanak-kanak yang dihabiskan dengan bermain  tanpa beban, masa yang tidak peduli akan apa yang kan terjadi esoknya. Namun stigma itu terbantahkan olehku,buktinya masa kanak-kanak tidak begitu ku dalami lantaran terlalu banyak tanya, terlalu banyak keanehan yang setiap saat ku rasakan bahkan sering kali membludak dalam fikiran akhirnya hatikupun telah terkontaminasi dengan rasa itu, sesekali sesak batin benar-benar menguras derai air
mata,bagai terperosok nestapa sang penyayat hati,apalagi tiap ku telusuri jalan setapak itu,jalan yang sebenarnya ku benci,jalan yang menjengkelkan namun di sepanjang jalan itulah isak tangisku tertanam menangis lepas dan sesekali berteriak memanggil mama..papa..tanpa seorangpun yang mendengar.
"mama...papa...dimana kalian?adakah kalian rasakan rindu ini?"(rintihku dalam tangis). Lalu sebenarnya akan kemanakah kaki ini kulangkahkan menyusuri jalan itu,mengapa harus ku susuri padahal aku tak suka.
"Tante...nenek...aku sudah datang,bedengan mana lagi yang belum disiram?" sapaku bersambung tanya kepada dua wanita yang sedari tadi menunggu kedatanganku.
"Iya nak,sini masih ada 9 bedengan yang belum disiram" jawab wanita parubaya yang memang menganggapku layaknya anak kandungnya sendiri,wanita yang ku sebut tante tadi.

Yaah itulah muara jalan setapak itu, sepetak tanah subur yang dimanfaatkan untuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar